Korban Gempa Tsunami Mentawai: Relokasi Kemana?

Isu rencana relokasi pemukiman masyarakat Mentawai di sepanjang pantai barat Pulau Pagai Utara dan Selatan yang terkena hantaman gempa dan  tsunami sudah digelindingkan pemerintah. Presiden SBY pun telah memerintahkan gubernur Sumbar dan Bupati Kepulauan Mentawai untuk segera mengkoordinasikan rencana relokasi tersebut. Hal ini juga dikuatkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi Arif, yang mengatakan “tidak ada solusi lain bagi masyarakat Mentawai untuk mencegah kejadian seperti saat ini, selain relokasi.” 

Idealnya sistem peringatan dini (early warning system) seharusnya bisa menjadi solusi paling handal untuk menjamin keselamatan masyarakat Mentawai yang tinggal di sekitar pantai barat tersebut. Namun sitem yang ada saat ini tidak tersedia. Bahkan sirene sebagai alat peringatan yang paling sederhana untuk menginformasikan terjadinya gempa pun tidak tersedia di Mentawai. Pemerintah menyatakan bahwa Mentawai tidak butuh alat pendeteksi dan peringatan dini tsunami. Alasannya, di wilayah ini gelombang tsunami bisa datang lebih cepat ketimbang kerja alat itu. Hal ini tentu tidak sepenuhnya benar karena letak persoalannya bukan pada masalah dekat jauhnya alat sistem peringatan dini tersebut dipasang, tetapi lebih kepada bagaimana memberi kesempatan kepada masyarakat untuk bereaksi ketika terjadi gempa dan tsunami.

Dengan asumsi bahwa pemerintah tetap tidak bersedia memasang alat sistem peringatan dini dan tidak ada lagi alternatif lain yang mampu menjamin keselamatan masyarakat Mentawai yang tinggal di sekitar pantai barat itu, maka boleh jadi rencana relokasi penduduk merupakan pilihan solusi paling bijak. Persoalannya kemudian adalah masyarakat di sepanjang pantai barat tersebut hendak di relokasi kemana.

Berikut adalah beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan pemerintah ketika pilihannya harus merelokasi permukiman penduduk di pantai barat Pagai.  

Pertama, lokasi permukiman baru haruslah di lokasi yang tanahnya masih miliki suku yang akan direlokasi tersebut. Hal ini penting untuk menghindari konflik pertanahan di kemudian hari. Pemerintah harus belajar dari kasus-kasus konflik pertanahan yang muncul akibat dari proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Tradisional (PKMT) di Pulau Siberut pada awal 80-an. 

Beberapa suku yang sebelumnya tinggal di hulu atau pedalaman dipindahkan dengan paksa mendekat ke arah pesisir yang pemilik tanahnya adalah suku yang berbeda. Suku pemilik tanah di daerah pesisir tersebut pun tak pernah dimintai persetujuannya bahwa tanah mereka akan digunakan sebagai lokasi proyek PKMT. Saat itu pemaksaan merupakan hal yang jamak pada proyek-proyek pemerintah. Akibatnya proyek-proyek PKMT hingga hari ini masih terus memunculkan konflik tanah yang berkepanjangan tanpa ada proses penyelesaian yang berarti. Konflik tanah tersebut saat ini bisa dilihat dengan terang benderang pada proyek-proyek PKMT di Dusun Puro, Desa Muntei, dan di Dusun Pokai, Desa Sikabaluan, di Pulau Siberut. Pemerintah sebagai pelaksana proyek hingga saat ini juga tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya.

Kedua, kalaupun tidak tersedia tanah suku yang akan direlokasi dan harus ke tanah suku lain, status tanahnya haruslah sudah jelas dan Pemkab Mentawai harus bertanggungjawab jika dikemudian hari terdapat konflik diantara masyarakat.

Ketiga, lokasi permukiman baru juga tidak terlalu jauh dari sumber-sumber penghidupan masyarakat. Sebagai masyarakat dengan model peladang tradisional, masyarakat Mentawai sangat tergantung kepada hasil ladang (mone) untuk memenuhi sumber pangan dan sumber mata pencaharian. Masyarakat Mentawai di Pulau Pagai yang tinggal jauh dari pusat kecamatan menjadikan keladi (gettek) dan pisang (bagok) sebagai makanan pokok sehari-hari, dan menanam nilam, coklat, pala, dan cengkeh untuk menghasilkan uang dalam rangka memenuhi kebutuhan keuangan keluarga dan membiayai pendidikan putra-putri mereka. Salah satu kegagalan proyek PKMT adalah masyarakat dijauhkan dari sumber-sumber penghidupan mereka, akibatnya masyarakat yang dimukimkan di sekitar pesisir pantai akhirnya kembali lagi ke perkampungan mereka di hulu untuk memenuhi kebutuhan pangan dan untuk mencukupi kebutuhan keuangan mereka.

Persoalan selanjutnya adalah lokasi aman untuk permukiman baru tidak semuanya berbukit atau aman dari gelombang tsunami. Untuk masyarakat di Dusun Maonai, Desa Bulasat, Pagai Selatan, misalnya tidak ada masalah. Masyarakat di dusun itu bisa di relokasi sepanjang 2 hingga 2,5 km ke arah Timur Laut atau ke arah Gunung Maonai-demikian masyarakat lokal menyebutnya-yang tingginya di atas 25 meter. Begitu juga untuk masyarakat di Dusun Purourogat, Desa Malakopa, Pagai Selatan, masyarakat bisa direlokasi pada ketinggian 25 meter ke arah Timur Laut atau perbukitan-yang oleh masyarakat lokal disebut Gunung Muntai-sejauh 2 km. Namun untuk masyarakat di Dusun Muntei Baru-Baru, Desa Betumonga, Pagai Utara, yang merupakan perkampungan dengan jumlah korban tewas paling banyak, lokasi perbukitan sangat jauh letaknya dari kampung tersebut, yaitu berjarak 4 km ke arah utara. Hal ini tentunya menjadi tidak mudah dalam pelaksanaan relokasi, mengingat lokasi perladangan mereka tidak terlalu jauh dari perkampungan yang sekarang.

Isu penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah lokasi-lokasi rencana perkampungan yang disebutkan di atas sebagian berlokasi di kawasan yang statusnya kawasan hutan negara atau hutan produksi, sehingga pelepasan status kawasan untuk permukiman perlu segera dibicarakan oleh pemerintah kabupaten dengan Departemen Kehutanan di Jakarta.

dikutip dari rilis notulensi rapat lumbung derma pada hari Jum'at 5 November 2010 di psoko lumbung derma sekretariat YCM.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Korban Gempa Tsunami Mentawai: Relokasi Kemana?"

Post a Comment